Thursday, February 28, 2008

Jabatan Fungsional Akademik : Karir Keilmuan atau Profesi?


Hari Jumat, 29 Februari 2008, saya memenuhi undangan Seminar di sebuah Hotel di Salatiga. Tema yang diusung dalam acara seminar tersebut adalah "Pengembangan Karir Dosen". Meski kehadiran saya terlambat, tetapi saya dapat banyak mencermati pembicaraan ataupun diskusi yang terbangun, bahwa sebenarnya ada banyak permasalahan di dunia pendidikan tingkat tinggi Indonesia. Baik itu permasalahan di lingkungan internal tempat saya mengaktualisasikan diri, maupun di lingkungan dunia pendidikan tingkat tinggi secara umum.

Kisaran Pembicaraan yang terjadi berada di standarisasi Kualitas Pendidikan , terlebih masalah ukuran angka yang harus dipenuhi oleh para "tukang-tukang pekerja ilmu pengetahuan". Kebijakan Pemerintah (dhi. Departemen Pendidikan Nasional) yang termanivestasi dalam UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 dan UU Guru dan Dosen, secara garis besar memaparkan beberapa hal penting terkait dengan eksistensi Dosen, antara lain :

  1. Kualifikasi, Kompeternsi dan sertifikasi,
  2. Hak dan Kewajiban,
  3. Pembinaan dan pengembangan
  4. Penghargaan
  5. Perlindungan
  6. Organisasi Profesi dan Kode Etik dan beberapa hal lainnya.
indikator-indikator ini perlu disambut dengan baik, karena akan berpengaruh terhadap kualitas dan profesionalitas dosen. Tentunya dengan standarisasi yang jelas dan terukur, akan membawa perubahan kepada meningkatnya kualitas pengajaran, pemerataan pendidikan, Pengembangan ilmu pengetahuan, penciptaan SDM yang "berdaya guna" dan selanjutnya bermuara kepada perwujudan kesejahteraan masyarakat.

Akan tetapi, maksud indah tersebut menyimpan konsekuensi, jika tidak diterapkan dengan diimbangi "kesadaran keilmuan dan pendidikan yang tinggi" oleh seluruh stakeholder pendidikan. Alasannya :

pertama,
Standar kualifikasi dan kompetensi yang diterapkan memungkinkan para pelaku pendidikan (dhl. dosen) hanya memikirkan pengumpulan pemenuhan standar-standar kualifikasi tersebut. Hal yang ditakutkan jika Dosen hanya berorientasi mengejar kuantitas Pengajaran dan karya-karya akademik yang diisyaratkan, untuk mengejar karier dalam kerangka pengejaran kebutuhan ekonomi dan Status sosial, kemudian lupa terhadap pengembangan kualitas keilmuan yang syaratkan oleh filosofis pendidikan. Kekakuan dan kebekuan pendidikan akan terjadi. Imbasnya Pendidikan kita tidak lebih dari penghasil SDM yang pragmatis, tidak jauh beda dengan yang lalu!!.

kedua,
masih terkait dengan alasan pertama, pemenuhan Standar kualifikasi yang disyaratkan oleh otorita pendidikan memungkinkan pula "menarik mundur" konsep pendidikan di perguruan tinggi. Maksudnya, Konsepsi proses Pendidikan tingkat tinggi adalah konsep pendidikan orang dewasa yang lebih menekankan kepada pengembangan seluruh kepribadian peserta didik, terutama perbuatan etisnya sebagai orang dewasa yang bertangung jawab. Jika seorang Dosen yang hanya berorientasi pada profesi untuk mengejar cum, memungkinkan pendidikan tinggi tidak ada bedanya dengan konsep pendidikan anak, yang hanya menekankan memberikan pengetahuan dan kecakapan baru. Makanya pendidikan di perguruan tinggi acapkali tidak menghasilkan profil lulusan yang memiliki kualitas kemanusiaan berbeda dengan lulusan di jenjang pendidikan sebelumnya. Perbedaannya hanya pada tambahan pengetahuan akan tetapi sepi dalam kemampuan analisis, pengambilan keputusan dan tanggung jawab sosialnya.

Ketiga, Standarisasi yang dilakukan pemerintah harus terus dievaluasi dalam tahap pelaksanaannya. Pengalaman yang ada, Update standar kualitas yang dilakukan oleh pemerintah diberbagai bidang sering terlambat. Pergeseran lingkungan berubah dengan cepat, sedangkan budaya organisasi "Pengendali administratif sistem ini (pemerintah) seringkali hanya berkutat pada permasalahan internal organisasi, tarik menarik kepentingan sektoral dan hitung-menghitung posisi tawar politik. Pendeknya, seringkali pendidikan ditarik keranah politik. Doktrinasi dan hegemoni pendidikan terjadi di dalamnya dan memberhangus kualitas keilmuan.

Ketiga catatan ini, setidaknya menjadi perenungan bagi kita bersama, terlebih para pelaku pendidikan di perguruan tinggi. Kira-kira kalau bisa disimpulkan, bahwa sebenarnya pendidikan tingkat tinggi di Indonesia masih terus mencari-cari bentuk yang ideal. Tarik menarik disini terjadi, pemerintah mencoba menampilkan kebijakan yang mengguratkan Dosen menjadi sebuah profesional-profesional dengan standarisasi yang diberlakukan. Sedangkan dilain pihak, Dosen menjadi instrumen penting dalam penciptaan manusia-manusia yang tinggi ilmu, tinggi iman dan tinggi pengabdian. Artinya, kualitas seorang dosen juga menyangkut seberapa jauh kontribusinya bagi perkembangan ilmu pengetahuan sekaligus pembentukkan manusia yang holistik. Semoga saja salah.....!!

Monday, February 25, 2008

Berjuang Untuk Memaafkan



Hujan datang sewaktu-waktu. Memang ada tanda-tanda yang terlihat ketika fenomena alam ini hendak terjadi. Akan tetapi sulit untuk memprediksi apakah besok akan hujan atau tidak. Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) mencoba terus menginformasikan prediksi-prediksinya. Tetapi pengalaman yang ada kita tidak selamanya bisa meyakini prediksi lembaga fungsional satu ini. Semuanya masih saja tidak menentu.

Begitu pula yang saya rasakan, ketika menghadapi suatu upaya untuk memaafkan. Memang mudah aja berkata "ya...saya maafkan kamu". Namun sulit sekali untuk menghilangkan rasa-rasa yang menyertai saat kita hendak memaafkannya. Entah dendam, sakit hati, keegoisan untuk memaklumi, atau rasa-rasa yang lain. Sepertinya situasi tidak bersahabat dengan kita. Semuanya mengambang dan tidak menentu. Walaupun sebenarnya yang bisa menentukan adalah diri kita sendiri.

Saya teringat dengan apa yang pernah ditulis oleh Milan Kundera, seorang sastrawan kelahiran Ceko, mengatakan "perjuangan melawan kekuasaan adalah perjuangan ingatan melawan lupa". Jika saya renungkan hampir sama kejadiannya dengan berjuang untuk memaafkan. Perjuangan melawan kekuasaan adalah perjuangan memaafkan melawan dendam, sakit hati, dan kemauan untuk memaklumi.

Berat memang, dan mungkin juga mission imposible. Berjuang melawan "kedagingan" diri kita sendiri. Tapi tidak ada salahnya kita mencoba untuk memaafkan, walau mungkin hanya dipikiran. Sekiranya tidak ada yang berkurang dari diri kita. Positive thinking and put off your revenge.

Wednesday, February 20, 2008

“Manajemen Penjilat” Virus yang Mematikan

Dalam sejarah peradaban dunia, saya melihat ada begitu banyak cerita-cerita kepahlawanan yang menggambarkan peristiwa heroic, sikap-sikap patriotic, sifat-sifat keberanian hingga tidak luput pula sikap kepribadian oportunis. Dari cerita Kehebatan Musa memimpin Bani Israel keluar dari perbudakan Mesir hingga cerita panjang Fidel Castro menolak Hegemoni AS. Atau mungkin cerita kepahlawanan The King of David ketika mengalahkan Raksasa Goliath hingga George Soros yang menggagahi sebagian besar Ekonomi dan Keuangan Dunia.

Masih begitu hangat pula di pikiran kita, ketika Media-media publik diawal bergulirnya tahun 2008 tak henti-hentinya menayangkan gugurnya Tokoh Utama “Kekaisaran” Orde Baru. Seorang public figure yang mencatatkan dirinya dalam sejarah kelam Tata kelola Pemerintahan Indonesia, seolah dibangunkan kembali kejayaannya oleh Media-media massa tersebut. Tapi, tak apalah. Itu semua tidak perlu kita besar-besarkan. Karena memang ternyata masih banyak orang-orang yang pernah menikmati nikmatnya serta indahnya orde pembangunan “fisik yang kapitalis” di era pak Harto. Konkritnya, orang-orang yang sukses menerapkan ilmunya sebagai seorang manager yang fasih berkata “Menurut Pentunjuk Beliau” (MPB) dan memiliki prinsip “Cari Muka” (CM) serta berpedoman pada “Asal Bapak Senang”(ABS).

Tidak luput pula masyarakat disekitaran dinamika tempat saya mengekspresikan diri, virus-virus MPB, CM, dan ABS ternyata bukan barang baru. Jika mau ditelisik lebih jauh, ternyata virus-virus inilah yang telah mengangkat, menggerogoti sekaligus menumbangkan kejayaan Soeharto pada masanya. Dengan menerapkan “Manajemen Penjilat”, atau tata kelola organisasi yang mengendus-endus di pantat kekuasaan untuk tujuan mengamankan diri, maka seseorang menganggap dirinya akan mendapatkan kesejahteraan dan kenyamanan hidup sejalan dengan jejak penguasanya.

Tapi perlu diketahui, sudah banyak bukti jika di sekeliling penguasa tumbur subur jamur para Penjilat, maka itu pertanda bahwa kekuasaan dan institusi mulai lapuk dan menuju ke ambang kehancuran. Logikanya, Pemimpin kehilangan kontrol akibat dari legitimasi semu orang-orang disekelilingnya. Walhasil, institusi tidak dapat dewasa dalam menghadapi perbedaan-perbedaan pendapat yang mengkontrol, karena fungsi pengendalian terhegemoni dengan kekuasaan. Selanjutnya, organisasi tidak dapat belajar dari turbulensi perubahan karena bergantung pada cara berpikir dan wawasan dari penguasa. Apalagi di masa sekarang sangat sulit mencari pemimpin berani menanggalkan kepentingan pribadi dan kelompoknya, lalu tulus mendedikasikan hidupnya bagi khalayak.

Rasa-rasanya kita perlu memerangi para penganut Manajemen Penjilat, dalam hal ini ABS dan CM. Sama halnya ketika Orde Baru getol dengan memerangi hebatnya ajaran Marxisme. Terutama di sebuah Institusi pendidikan,“Terapi” bagi para komprador harus di dilakukan, karena bahaya laten Penjilat-isme. Karena kita ketahui itu bukan suatu bentuk dukungan bagi seorang pimpinan yang kita gadang-gadang. Tetapi merupakan Virus yang mematikan perlahan-lahan sebuah kepemimpinan dan akan menciderai institusi yang kita cintai.

Ciri-ciri penganut Ajaran Manajemen Penjilat :

  1. Melaksanakan pengelolaan organisasi berpedoman pada Asal Bapak Senang.
  2. Tujuannya adalah kepentingan mengamankan diri
  3. Berdinamika mengandalkan prinsip-prinsip Cari Muka, lalu setelah menemukannya cenderung bermuka dua.
  4. Bersikap reaksioner dan responsif ketika ketika menghadapi isu.
  5. Menganggap keberhasilan organisasi adalah karena kehebatan dirinya, lalu melupakan Pemimpinnya sendiri.

Monday, February 18, 2008

Trimester Vs Semester = "capek deh.....!"

Jenuh, jengah, monoton, dan bosan jika saya masih mendengarkan perdebatan (kalau tidak mau dikatakan diskusi) mengenai persoalan Trimester Vs Semester. Apalagi ketika "pihak-pihak" tertentu memanfaatkan momentum itu hanya untuk mengatakan "nih lho..., saya orang yang ngerti dan vokal". Padahal mereka tidak pernah mengalami dua era tersebut, mengajukan gagasan hanya karena mendengar dari omongan orang lain.

Untuk beberapa punggawa dari Kampus UKSW, ada kecenderungan mereka hendak merubah kembali penelenggaraan kegiatan kuliah dari Trimester ke Semester. Segala upaya ditempuh dan segala apologi coba dilontarkan guna melegitimasi kebijakannya. Memang tidak ada salahnya jika seorang pimpinan di sebuah institusi menggulirkan sebuah kebijakan, apalagi hasil dari keputusan mayoritas dari forum pembuat keputusan tertinggi. Tentu ini perlu dilaksanakan oleh seluruh jajaran yang ada tanpa terkecuali.

Akan tetapi, manarik untuk disimak lebih jauh. Pertama, Para Punggawa Universitas sekarang tentu menjadi orang-orang yang eksis pada masa transisi dari Semester ke Trimester. Perdebatan yang alot pasti juga mereka lakoni. Pertanyaannya, mengapa pada saat perdebatan terjadi, tidak "menolak" dengan tegas pelaksanaan Trimester?. Jika ada alasan hanya untuk menciptakan suasana yang kondusif pada saat itu, apakah itu merupakan suatu tanggung jawab organisatoris selaku komponen yang ada di institusi akademik (dimana segala sesuatunya diputuskan atas pertimbangan yang matang, ilmiah dan strategis). Sepertinya, kok saya menilai ini hanyalah sikap-sikap untuk mencari aman (kalau tidak mau dikatakan bermuka dua).

Kedua
, dalam sebuah institusi pendidikan yang didalamnya menjadi tempat persemaian ilmu - pengetahuan dan manusia yang holistik, ternyata pada pengelolaan organisasi tidak ubahnya memperlihatkan pengelolaan yang tradisional. Tidak ada roadmap pengelolaan jangka panjang yang jelas, jika yang terjadi hanya gonta-ganti sistem dan bolak-balik kebijakan. Parahnya tidak mempertontonkan inisiatif pengembangan organisasi yang bersifat strategis.

Ketiga
, sangat disayangkan jika saat ini mahasiswa kelihatannya tidak memiliki posisi tawar di mata seluruh komponen civitas akademika. Padahal jika mau ditelisik lebih jauh, posisi sebagai mahasiwa merupakan kelompok yang terkena dampak lebih besar, ketika para punggawa-pungawa kampus "bermain Ping-pong". Anehnya lagi lembaga-lembaga kemahasiswaan yang menjadi corong aspirasi mahasiswa, tidak sedikit yang dimanfaatkan oleh kepentingan pihak-pihak tertentu. Alias menjadi megaphone bagi beberapa pihak.

Memang isu Trimester VS Semester perlu kita gagas. Tetapi mari kita coba untuk menempatkan profesionalitas dan fungsi kita masing-masing pada porsi yang tepat. Sehingga kita tidak akan bertindak layaknya seorang pahlawan kesiangan, yang terus mengumbar pernyataan-pernyataan "patriotik".