Monday, February 18, 2008

Trimester Vs Semester = "capek deh.....!"

Jenuh, jengah, monoton, dan bosan jika saya masih mendengarkan perdebatan (kalau tidak mau dikatakan diskusi) mengenai persoalan Trimester Vs Semester. Apalagi ketika "pihak-pihak" tertentu memanfaatkan momentum itu hanya untuk mengatakan "nih lho..., saya orang yang ngerti dan vokal". Padahal mereka tidak pernah mengalami dua era tersebut, mengajukan gagasan hanya karena mendengar dari omongan orang lain.

Untuk beberapa punggawa dari Kampus UKSW, ada kecenderungan mereka hendak merubah kembali penelenggaraan kegiatan kuliah dari Trimester ke Semester. Segala upaya ditempuh dan segala apologi coba dilontarkan guna melegitimasi kebijakannya. Memang tidak ada salahnya jika seorang pimpinan di sebuah institusi menggulirkan sebuah kebijakan, apalagi hasil dari keputusan mayoritas dari forum pembuat keputusan tertinggi. Tentu ini perlu dilaksanakan oleh seluruh jajaran yang ada tanpa terkecuali.

Akan tetapi, manarik untuk disimak lebih jauh. Pertama, Para Punggawa Universitas sekarang tentu menjadi orang-orang yang eksis pada masa transisi dari Semester ke Trimester. Perdebatan yang alot pasti juga mereka lakoni. Pertanyaannya, mengapa pada saat perdebatan terjadi, tidak "menolak" dengan tegas pelaksanaan Trimester?. Jika ada alasan hanya untuk menciptakan suasana yang kondusif pada saat itu, apakah itu merupakan suatu tanggung jawab organisatoris selaku komponen yang ada di institusi akademik (dimana segala sesuatunya diputuskan atas pertimbangan yang matang, ilmiah dan strategis). Sepertinya, kok saya menilai ini hanyalah sikap-sikap untuk mencari aman (kalau tidak mau dikatakan bermuka dua).

Kedua
, dalam sebuah institusi pendidikan yang didalamnya menjadi tempat persemaian ilmu - pengetahuan dan manusia yang holistik, ternyata pada pengelolaan organisasi tidak ubahnya memperlihatkan pengelolaan yang tradisional. Tidak ada roadmap pengelolaan jangka panjang yang jelas, jika yang terjadi hanya gonta-ganti sistem dan bolak-balik kebijakan. Parahnya tidak mempertontonkan inisiatif pengembangan organisasi yang bersifat strategis.

Ketiga
, sangat disayangkan jika saat ini mahasiswa kelihatannya tidak memiliki posisi tawar di mata seluruh komponen civitas akademika. Padahal jika mau ditelisik lebih jauh, posisi sebagai mahasiwa merupakan kelompok yang terkena dampak lebih besar, ketika para punggawa-pungawa kampus "bermain Ping-pong". Anehnya lagi lembaga-lembaga kemahasiswaan yang menjadi corong aspirasi mahasiswa, tidak sedikit yang dimanfaatkan oleh kepentingan pihak-pihak tertentu. Alias menjadi megaphone bagi beberapa pihak.

Memang isu Trimester VS Semester perlu kita gagas. Tetapi mari kita coba untuk menempatkan profesionalitas dan fungsi kita masing-masing pada porsi yang tepat. Sehingga kita tidak akan bertindak layaknya seorang pahlawan kesiangan, yang terus mengumbar pernyataan-pernyataan "patriotik".

1 comment:

Anonymous said...

sepertinya lebih dari itu para punggawa Kampus tuh!!!