Sunday, December 9, 2007

Catatan Harian tentang Kebijakan Konversi Premium


Suatu saat penulis mendapat pertanyaan dari seseorang mengenai harga bensin (premium yang dimaksud) akan naik kembali sampai ke harga Rp 8.000- an. Yang cukup membuat penulis berpikir adalah orang tersebut sudah lanjut usia dan berasal dari keluarga sederhana dan tinggal di daerah pedesaan. Keingintahuan yang didasari dengan kepolosan diri membuat penulis harus menjawab dengan uraian yang sederhana dan sekiranya dapat dipahami oleh orang-orang "awam". Kekawatiran juga terpacar dari raut mukanya, mengingat mungkin beban yang dirasakan akan bertambah berat jika terjadi kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM, dalam hal ini premium.

Jika kita mau melihat kejadian yang penulis alami, ada beberapa hal yang hendak diutarakan secara singkat. Terutama terkait dengan permasalahan Konversi Premium Oktan 88 ke Pertamax dan Premium Oktan 90. Terdapat beberapa hal yang sangat mengganggu pemikiran penulis antara lain :

Pertama, Memang sebuah dilema yang sangat sulit dihadapi oleh pemerintah, yang pada akhirnya harus menelorkan sebuah kebijakan yang tidak "populis". Disatu sisi, beban berat pemerintah untuk menanggung beban pembiayaan subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM), dilain pihak persoalan kondisi ekonomi masyarakat yang semakin sulit jika dilakukan pengurangan subsidi pemerintah untuk BBM,yakni premium.

Banyak pengamat ekonomi, kelompok akademisi, dan tidak luput pula tokoh-tokoh masyarakat yang coba mengomentari keputusan sulit pemerintah tersebut. Sebagian besar, merespon kebijakan pemerintah tersebut akan menimbulkan banyak sekali implikasi terhadap kondisi sosial ekonomi rakyat.
Akan tetapi, ada beberapa pertanyaan yang melintas di benak penulis. Kenaikan BBM yang telah terjadi beberapa kali semenjak krisis ekonomi yang dialami oleh bangsa Indonesia, pada akhirnya dapat "dinikmati" oleh masyarakat. Bahkan yang menarik, angka penjualan kendaraan bermotor roda empat dan roda dua menunjukkan angka yang cukup fantastis. Kejamnya lagi ada beberapa perusahaan-perusahaan outomotif yang menggelotorkan Mobil-mobil mewah merangsek masuk ke Indonesia dan yakin dengan pasar yang ada di Indonesia. Tampaknya Bangsa Indonesia bangsa yang sudah tahan banting.

Kedua, Konversi yang dilakukan akan menimbulkan implikasi yang amat rumit pada aras implementasi teknisnya. Sangat sulit melakukan pembatasan konsumsi premium untuk kendaraan pribadi roda, yang katanya sudah tidak perlu disubsidi lagi oleh pemerintah. Sebagian besar pemilik kendaraan pribadi roda empat merupakan kelompok masyarakat dari golongan menengah dan atas. Kebijakan pemerintah yang tidak populis ini di yakini akan memunculkan perilaku-perilaku masyarakat yang baru, sebagai bentuk antisipatif dan reaksi adaptif dari masyarakat. Akhirnya ada kemungkinan tujuan pemerintah tidak sesuai dengan harapan, alias gagal.

Misalnya, ada kemungkinan kebijakan pemerintah tersebut akan menuyebabkan selisih harga antara harga premium oktan 88, Pertamax dan premium oktan 90 cukup "menjanjikan". Hal ini memungkinkan akan menjadi insentif untuk bermunculannya kios-kios penjualan eceran premium non-SPBU dengan harga yang lebih mahal dari harga subsidi, tetapi lebih murah dibanding harga Pertamax dan premium oktan, yakni pada kisaran harga Rp5.000-6.500 per liter.
Dengan demikian, para pemilik mobil pribadi masih bisa menggunakan premium dengan membeli ke kios-kios tersebut. Harganya memang lebih mahal dari harga premium yang dijual pada SPBU, tetapi mereka bisa berhemat dibanding jika mereka membeli Pertamax atau premium oktan 90. Jika ekses kemungkinan tidak dilihat sejak dini misi pemerintah untuk menggiatkan pengurangan penggunaan premium oktan 88, hanyalah isapan jempol semata.

Ketiga, Kenaikan harga minyak dunia menjadi salah satu alat legitimasi kepada masyarakat luas berkenaan dengan konversi penggunaan premium oktan 88 ke pertamax maupun premium Oktan 90. Pertamina sebagai institusi yang memegang hak pengelolaan hingga pendistribusian BBM di Indonesia juga perlu melakukan pembenahan internal. Implementasi kebijakan konversi ini bisa saja dimanfaatkan oleh oknum-oknum tertentu yang hendak memanfaatkan kesempatan emas ini. Pengalaman membuktikan, di lembaga ini banyak sekali kecurangan-kecurangan yang telah terjadi dan telah merugikan keuangan negara sangat besar. Jelas kita tidak ingin melihat pemerintah mencoba melakukan pembenahaan arsitektur Anggaran Pendapatan dan Belanja, disisi lain telah siap tikus-tikus pengerat yang siap mengganggu pembenahan tersebut.

Keempat, Raut muka bangsa Indonesia terus dirundung kemurungan. Sangat sulit mendengar kata keceriaan hasil dari prestasi bangsa yang membanggakan. Kemurungan yang terjadi penulis yakin tidak muncul dengan sendirinya. Semua yang terjadi adalah akibat dari peristiwa-peristiwa lampau. Jadi, keliru besar jika ini mutlak adalah kesalahan punggawa-punggawa pemerintah sekarang. Permasalahan disekitaran penggunaan BBM adalah masalah seluruh elemen bangsa. Butuh kesadaran bersama untuk mengatasi problematika ini. Kita yakini bersama, Badai Pasti berlalu.

No comments: